Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
Sesungguhnya keinginan untuk mendirikan BPJS baru telah dibahas dalam prosespenyusunan UU SJSN. Perdebatannya berlangsung sangat alot. Berbagai pertimbangan tentangcost-benefit, Nasionalisme, keadilan antar daerah dan antar golongan pekerjaan, sertapertimbangan kondisi geografis serta ekonomis yang berbeda-beda telah pula dibahas mendalam.Apa yang dirumuskan dalam UU SJSN, UU no 40/04, merupakan kompromi optimal.Konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi adalah bahwa rumusan suatu UU yang telahdiundangkan harus dilaksanakan, baik yang tadinya pro maupun yang tadinya kontra terhadap suatu isi atau pengaturan. Setelah disetujui DPR, wakil rakyat, maka rumusan suatu UUmengikat semua pihak. Sangatlah tidak layak dan tidak matang, apabila UU tersebut sudah divonis tidak mengakomodir kepentingan kita, sebelum UU itu dilaksanakan. Kita harus belajarkonsekuen dan berani menjalankan sebuah keputusan UU, meskipun ada aspirasi atau keinginankita yang berbeda dengan yang dirumuskan UU SJSN. Boleh saja kita tidak setuju dengan isisuatu UU dan tidak ada satupun UU yang isinya 100% disetujui dan didukung oleh seluruhrakyat. Atau, jika seseorang atau sekelompok orang yakin bahwa UU SJSN itu merugikankepentingan lebih banyak rakyat, maka ia atau mereka dapat mengajukan alternatif ke DPRuntuk merevisi atau membuat UU baru. Inilah hakikat negara demokrasi.
Sejarah Singkat BPJS
Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya.Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin bertambah. Pada tahun Pada 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25% penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak aday ang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang besar.
Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab permasalahan di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hingga disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional). Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 .
Lanjutan Implementasi UU SJSN hingga ke UU BPJS
Setelah resmi menjadi undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada bulan Januari 2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Putusan MK semakin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.
Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Tim Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN, yang notabene keduanya adalah Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati. Seluruh perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.
Tahun berganti. DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.
Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang bahkan semestinya telah dapat dioperasionalkan sejak 9 Oktober 2009 dua tahun lampau. Perjalanan tak selesai sampai disahkannya BPJS menjadi UU formal, jalan terjal nan berliku menanti di depan. Segudang pekerjaan rumah menunggu untuk diselesaikan demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial. Sebuah kajian menyebutkan bahwa saat ini, berdasarkan data yang dihimpun oleh DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus badan hukumnya adalah Persero tersebut, hanya terdapat sekitar 50 juta orang di Indonesia ini dilayani oleh Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh 4 BUMN penyelenggara jaminan sosial.
Pasca Sah UU BPJS
Perubahan dari 4 PT (Persero) yang selama ini menyelenggarakan program jaminan sosial menjadi 2 BPJS sudah menjadi perintah Undang-Undang, karena itu harus dilaksanakan. Perubahan yang multi dimensi tersebut harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar berjalan sesuai dengan ketentuan UU BPJS.Pasal 60 ayat (1) UU BPJS menentukan BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU BPJS menentukan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS Ketenagakerjaan dan menurut Pasal 64 UU BPJS mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.
Pada saat mulai berlakunya UU BPJS, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) ditugasi oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang.
Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari kedua BUMN ini, BUMN yang dipercaya mengemban tugas menyiapkan perubahan tersebut. Sebagai professional tentu mereka paham bagaimana caranya mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam proses perubahan tersebut, dan bagaimana harus bertindak pada waktu yang tepat untuk membuat perubahan berjalan tertib efektif, efisien dan lancar sesuai dengan rencana.
Tahun 2012 merupakan tahun untuk mempersiapkan perubahan yang ditentukan dalam UU BPJS. Perubahan yang dipersiapkan dengan cermat, fokus pada hasil dan berorientasi pada proses implementasi Peraturan Perundang-undangan secara taat asas dan didukung oleh pemangku kepentingan, akan membuat perubahan BPJS memberi harapan yang lebih baik untuk pemenuhan hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial.
2.2 Pengertian BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 Tahun 2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
2.3 Dasar Hukum
1. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan;
2. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
2.4 Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan
2.4.1 Hak Peserta
1. Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
2. Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3. Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; dan
4. Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke Kantor BPJS Kesehatan.
2.4.2 Kewajiban Peserta
1. Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
2. Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan tingkat I;
3. Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
4. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.
2.5 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional
Ada 2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan dan Manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Paket manfaat yang diterima dalam program JKN ini adalah komprehensive sesuai kebutuhan medis. Dengan demikian pelayanan yang diberikan bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh besarnya biaya premi bagi peserta. Promotif dan preventif yang diberikan dalam konteks upaya kesehatan perorangan (personal care). Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:
a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak.
c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif namun masih ada yang dibatasi, yaitu kaca mata, alat bantu dengar (hearing aid), alat bantu gerak (tongkat penyangga, kursi roda dan korset). Sedangkan yang tidak dijamin meliputi:
a. Tidak sesuai prosedur
b. Pelayanan diluar Faskes Yg bekerjasama dng BPJS
c. Pelayanan bertujuan kosmetik
d. General check up, pengobatan alternatif
e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, Pengobatan Impotensi
f. Pelayanan Kesehatan Pada Saat Bencana
g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit Yg Timbul Akibat Kesengajaan Untuk Menyiksa Diri Sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba
2.5 Pembiayaan
2.5.1 Pengertian
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka olehBPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkanjumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatankepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’sadalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepadapengelompokan diagnosis penyakit.
2.5.2 Pembayar Iuran
1. Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2. Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
3. Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
4. Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
2.5.3 Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya.
Iuran premi kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pekerja informal. Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah itu adalah Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I.
Untuk standar tarif pelayanan kesehatan pada Fasilitas kesehatan tingkat pertama ada di lampiran 1.
Penulis:
Fitrah Reynaldi
Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang