Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu dibutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin adalah orang yang dijadikan rujukan ketika komunitas tersebut. Pemimpin adalah orang yang memberikan visi dan tujuan. Dalam suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan berlangsung sampai kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang mampu mengatur dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan islam adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang disebut sebagai Prophetic leadership yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW.
A. Latar Belakang
Bila kita cermati kehidupan Rasulullah kita akan menemukan banyak sekali keistimewaan dan pelajaran yang seakan-akan tidak pernah habis. Dalam hal kepemimpinan lihatlah bagaimana Rasullah membangun kepercayaan dan kehormatan dari kaumnya. Sebelum menjadi nabi, Rasullullah sudah mempunyai gelar al-amin yang artinya dapat dipercaya. Sebuah gelar yang tidak bisa dikatakan biasa karena menununjukkan kredibilitas beliau di mata kaumnya. Kemudian lihatlah bagaimana daya kepemimpinan beliau ketika menyelesaikan kasus pengembalian Hajar Aswad ke dalam ka’bah setelah direnovasi karena banjir. Semua orang bergembira karena beliaulah yang terpilih menjadi hakim pada perkara tersebut. Dan cara penyelesaiannya pun sungguh cerdas dan menyenangkan semua pihak.
Setelah menjadi pemimpin tertinggi Negara Islam madinah pun Rasullullah tetap menunjukkan daya kepemimpinan yang luar biasa. Berkali-kali beliau memimpin sendiri pasukan perang untuk menghadapi orang-orang kafir, menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tubuh umat yang semakin kompleks, menjadi pemimpin bagi beragam suku arab dan agama yang ada di madinah kala itu. Namun, di tengah-tengah kesibukannya dalam mengurus Negara, beliau masih sempat mencandai istri, bahkan menjahit sendiri terompahnya yang putus dan gamisnya yang robek. Dan semua kualitas tersebut menjadikan Rasullullah sebagai pemimpin terhebat sepanjang sejarah.
Dalam waktu singkat, 23 tahun kurang lebih, risalahnya telah menembus batas-batas akal manusia. Barisan-barisan inti yang kokoh siap melanjutkan risalah yang dibawanya. Pengikut ajarannya pun semakin bertambah banyak. Dalam waktu sekejap sejarah mencatat bahwa ajaran islam yang dibawanya telah meluas dari jazirah kecil tak ternama menjadi sepertiga dunia yang makmur dan digdaya. Bagaimana Rasulullah menjadi dapat menjadi pemimpin yang demikian hebatnya? Jawabannya hanya satu, karena Rasulullah memimpin dengan kekuatan spiritualitasnya, bukan karena posisi, jabatan, atau sesuatu yang dibeli dengan uang dan kekuasaan. Yang ditaklukan oleh Rasulullah bukan posisi atau jabatan tetapi hati para pengikutnya. Dalam teori kepemimpinan modern, model pemimpin seperti ini dimanakan level 5th leader[1].
Level 5th leader adalah level pemimpin yang telah melewati level-level sebelumnya. Pada tahap ini seorang menjadi pemimpin karena kekuatan personalnya dan visi serta cita-citanya. Bandingkan dengan orang yang memimpin dengan mengandalkan posisi dan jabatannya atau ia menjadi pemimpin karena “membeli” kepemimpinan itu dengan harga yang mahal. Mungkin hal inilah yang menyebabkan para sahabat begitu menghormati beliau. Bahkan musuh beliau gentar dengan berkata bahwa tidak ada pemimpin yang diperlakukan oleh orang yang dipimpinnya sebagaimana Rasullullah diperlakukan oleh para sahabatnya.
Hal ini terlihat pada sirah ketika Rasulullah akan berangkat menunaikan ibadah haji ke mekkah setelah perang khandaq. Jawaban Abu Bakar yang kasar ketika Urwah bin Mas’ud bermaksud membuat ragu Rasulullah terkait kesetiaan umat islam. Bagaimana mungkin Abu bakar yang sedemikian lembut mampu berkata “Isaplah batu berhalamu, si Latta, apakah kau kira kami akan berlari meninggalkan ia?”, atau ketika al-Mughirah bin Syubhah berkata dengan lantang sambil menghunuskan pedang “jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah sebelum kutebas tangan itu”. Kepemimpinan model apakah ini, sehinga mampu menghasilkan pengikut yang sedemikian rupa? Sekali lagi, Rasulullah menaklukan hati para sahabatnya bukan membeli apalagi meminta jabatan kepemimpinan tersebut. Inilah contoh konkret dari penerapan Prophetic leader dalam sejarah umat manusia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah kita menjadi pemimpin dengan kelas Prophetic leader? Hal pertama yang harus kita sadari bahwa kepemimpinan lahir karena dibentuk. Ia tidak dilahirkan dalam satu malam atau dari rahim istri pemimpin besar. Ia lahir dari perjuangan dan penempaan yang tiada henti. Seperti Rasulullah yang ditempa langsung oleh Allah. Kemudian, sadarilah menjadi pemimpin adalah sebuah pilihan. Transformation in our world never be initiated by many people, it’s always originated by few selected people. Orang-orang pilihanlah yang akhirnya mampu membuat perubahan besar. Dan pilihan selalu mengandung konsekuensi[2].
Menjadi pemimpin berarti bersiap untuk menjadi pembelajar. Mungkin kita harus belajar memimpin dengan menggunakan posisi atau jabatan tertentu. Tidak masalah, teruslah belajar dan jadilah pemimpin yang dapat merangkul semua elemen kerja. Buktikanlah hasil dari kepemimpinan kita dan pupuk selalu kredibiltas pribadi hingga akhirnya orang mengikuti kita karena raihan atau prestasi bagus yang telah kita capai. Kemudian, teruslah belajar, masukkanlah nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinan kita, dan akhirnya buatlah orang lain menjadikanmu pemimpin mereka karena semua kualitas pribadi kita dan daya pikat spiritulitas kita pada mereka. Itulah Prophetic Leader yang bukan hanya memenangkan posisi sebagai pemimpin, tetapi juga memenangkan hati para pengikutnya.
Berdasarkan uraian di atas maka disadari atau pun tidak kepemimpinan adalah suatu fitrah, dan juga keharusan yang mesti kita laksanakan sepenuhnya. Dengan ini maka perlu kiranya kita mengetahui apa itu Kepemimpinan, terutama Kepemimpin berdasarkan Dienul Islam. Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi pengantar untuk mengetahui kepemimpinan ini dengan lebih lanjut. Amiin.
B. Perumusan Masalah
Dari permasalahan di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah :
1. Apa pengertian Kepemimpinan dalam ajaran Islam?
2. Bagaimana konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah?
3. Bagaimana hukum memilih pemimpin?
4. Apa saja sifat-sifat pemimpin yang ideal?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini, diharapkan dapat menjadi pengantar untuk:
Mengetahui pengertian Kepemimpinan dalam ajaran Islam
Mengetahui konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah
Memahami hukum memilih pemimpin
Mengetahui sifat-sifat pemimpin yang ideal
BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang sehingga ia memperoleh rasa hormat (respect), pengakuan (recognition), kepercayaan (trust), ketaatan (obedience), dan kesetiaan (loyalty) untuk memimpin kelompoknya dalam kehidupan bersama menuju cita-cita[3].
Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu seperti: nonton film, berman sepek bola, dan lain-lain, orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
1] Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
2] Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
3] Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.
4] Pendapat lain, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang.
Dari keempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi lain, para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.
Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama, yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.
B. Arti Kepemimpinan Islam
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagian setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di muka bumi :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [Q.S.al-Baqarah:30],
Kholifah bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah :
“Setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah] :
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" [Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya.
Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata.
Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain[4].
Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
C. Teori Kelahiran Pemimpin
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol yaitu [a] teori genetis, [b] teori sosial, dan [c] teori ekologis[5].
a. Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk” [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi” termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor “dasar”. Dalam realitas, teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
b. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan [Leaders are made and not born]. Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.
c. Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.
Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lungkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.
Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: [1] Bakat kepemimpinan yang dimilikinya. [2] Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan [3] Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.
Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : [1] Membentuk diri sendiri [self constituded leader, self mademan, born leader] [2] Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. [3] Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya [Imam Mujiono, 2002: 18].
D. Konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah;
Hukum Memilih Pemimpin
Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil”.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [QS.al-Baqarah:30].
Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi [khalifah fil ardli]. Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat. Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agam dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat. Dikenal pula istilah “ulil amir” [jamaknya umara] yang disebutkan dalam surat al-Nisa [59] yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat [55].
Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut, memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah.
Istilah khalifah dan “amir” dalam kontek bahasa Indonesia disebut pemimpin yang selalu berkonotasi pemimpin formal. Apabila, kita merujuk dan mencermati firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi. “Meraka bertanya [keheranan], Mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertimpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Mahatahu segala hal yang tidak kemau ketahui”.
Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Islam secara mutlak bersumber dari Allah swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardli. Maka dalam kaitan ini, dimensi kontrol tidak terbatas pada interaksi antara yang memimpin [umara] dengan yang dipimpin [umat], tetapi baik pemimpin maupun rakyat [umat] yang dipimpin harus sama-sama mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya sebagai seorang khalifah Allah , secara komprehensi[6]f.
Dalam sejarah kehidupan manusia sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya. Dalam Hadis Nabi, “setiap kamu adalah pemimpin” dan terlihat dalam pengalaman sehari-hari manusia telah melakukan unsur-unsur kepemimpinan seperti “mempengaruhi, mengajak, memotivasi dan mengkoordinasi” sesama mereka. Pengalaman itu perlu dianalisis untuk mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mewujudkan kepemimpinan yang efektif. “Untuk memahami kepemimpinan secara empiris, perlu dipahami terlebih dahulu tinjauan segi terminolgi-nya. Sacara etomologi [asal kata] menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” dengan mendapat awalan “me” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan artinya yaitu mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dan dalam bentuk kegiatan, maka si pelaku disebut “pemimpin”. Maka dengan kata lain, pemimpin adalah orang yang memimpin, mengetuai atau mengepalai. Kemudian berkembang pula istilah “kepemimpinan” [dengan tambahan awalan ke] yang menunjukkan pada aspek kepemimpinan[7]”.
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam membahas dengan nara sumber Prof. Dr. Maman Abdurrahman, MA tentang al-Khilafah al-Islamiyyah, mendefinisikan secara bahasa diambil dari kha-la-fa yang memiliki 3 makna, yaitu, pertama, an yaji’a syai’un ba’da syai’in yaqumu maqamahu, adanya sesuatu sesudah sesuatu yang bertugas sesuai dengan yang diganti. Kedua, khilaful quddam, kebalikan depan/terdahulu, yakni belakangan/akhir. Ketiga, taghayur, artinya berubah[8].
Substansi khilafah dan hukum menegakkannya didasarkan pada perintah Allah Swt untuk menegakkan syari’at Islam dalam arti yang seluas luasnya memberikan konsekuensi tersendiri pada penegakkan khilafah ini. Karena sebagaimana diketahui, Syari’at Islam tidak hanya mengatur perso’alan individu semata tapi juga perso’alan keluarga, masyarakat, dan pemerintah/ kenegaraan. Sangat banyak sekali hukum-hukum yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali sesudah adanya pemerintah, semisal hudud (hukum pidana), qital (perang), dan lain sebaginya. Kemestian menegakkan hukum-hukum tersebut pada akhirnya mau tidak mau juga menuntut penegakkan adanya pemerintahan.
Maka dari itu, dapat dirumuskan bahwa substansi dari khilafah adalah penegakkan syari’at islam. Oleh karena menegakkan syari’at Islam itu wajib, maka otomatis menegakkan khilafah atau al-imamah al’uzma pun wajib. Tapi tetap, fokus sasarannya pada Syari’at Islam.
Hal ini senada dengan qaidah ushul:
الامر بالشيئ أمر بوسائله
Perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah mengerjakan perantara-perantaranya.
Ini berarti penyelamatan agama dan umatnya ini harus lewat sebuah jama’ah muslimin dengan ketaatan sepenuhnya kepada imamnya. Dengan kata lain, kepada sebuah pemerintahan kaum muslimin.
Sidang Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam telah menetapkan beberapa putusan terkait masalah di atas:
1. Substansi dari khilafah adalah penegakkan syari’at Islam.
2. Khalifah atau al-imam al-azham adalah pemegang kekuasaan dalam hirasatud din (melindungi agama) wa siyasatu ddunya (mengatur dunia).
3. cara pemilihan khilafah atau al-imam al-azham adalah melalui syuro.
4. sumber hukum dalam system khilafah atau al-imam al-uzhma adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
5. Hukum menegakkan khilafah atau al-imamah al-uzhma adalah wajib.
Hukum Golput
Setahun silam ketika menyongsong Pemilu 2009 banyak pertanyaan tentang bagaimana seharusnya menyikapinya. Karena pada faktanya, kinerja para pemimpin yang akan dipilih masih jauh dari harapan, Partai-partai Islam pun semakin tergerus dengan nilai-nilai sekuler sehingga semakin tidak terlihat keislamannya. Apakah dengan kenyataan seperti ini dibenarkan untuk tidak memilih? Alias golput.
Menjawab pertanyaan di atas, para ulama dari beberapa ormas Islam Indonesia menyampaikan fatwa dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padangpanjang, 26 Januari 2009 M silam. Ketika itu para ulama mengeluarkan seruan:
Pertama, Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat Ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Kedua, Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan Imaroh dalam kehidupan bersama.
Ketiga, imamah dan imaroh dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam Hukumnya adalah Wajib.
Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan dalam butir4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram[9].
Bagi para ulama gejala Golput (bersikap tidak memilih) di tengah-tengah umat Islam dikhawatirkan dapat membawa dampak yang negative, yakni tidak tertegaknya imamah-imarah yang merupakan kewajiban umat untuk mewujudkannya. Apa yang harus dilakukan umat, menurut para ulama adalah memilih pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah). Jika pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria seperti itu ada, tapi kemudian tidak memilih, maka tentu itu sebuah kesalahan. Atau, jika pemimpin-pemimpin yang seperti itu ada, tapi malah memilih pemimpin yang tidak sesuai dengan criteria di atas, sama juga itu sebuah kesalahan, alias Haram.
E. Sifat-sifat Pemimpin yang Ideal
Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad Rasululloh Saw adalah sosok manusia yang paling ideal, sempurna dalam segala hal. Beliau bukan hanya seorang nabi dan rasul pilihan, juga sebagai kepala rumah tangga yang harmonis bagi keluarga-keluarganya, sahabat yang baik bagi sesamanya, guru yang berhasil bagi murid-muridnya, teladan bagi ummatnya, panglima yang berwibawa bagi prajuritnya dan pemimpin yang besar bagi kaumnya.
Segala akhlak mulia ada padanya, sehingga Allah sebagai Pencipta pun memujinya,
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Keberhasilan beliau sebagai Pemimpin, dilandasi sifat-sifat / kriteria-kriteria pemimpin yang ideal:
1) Bertaqwa kepada Allah Swt
Sebagai syarat muthlak sebagai pemimpin. yang telah menjadi karakter kepribadiannya.
2) Amanah
Artinya jujur, tidak pernah berdusta, menepati janji, berani mengatakan yang haq, bertindak adil dan profesional. Sifat ini harus menetap pada seseorang jauh sebelum dia menjadi pemimpin.
Sebagaimana diungkapkan dalam hadits:
وعن أبي أمامة قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم : " لا إيمان لمن لا أمانة له ، والذي نفسي بيده لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا " . رواه الطبراني
3) Shiddiq
Membenarkan dan meyakini apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya sekalipun tidak dapat difahami oleh akal. Tokoh pemimpin berkarakter ini, adalah Abu Bakar Ashiddiq.
Seorang Shidiq sanggup berkata jujur, berani menyampaikan al-haq dengan segala resikonya, walaupun ia harus terusir dari negerinya. Sabda Rasulullah Saw,
عن أبي الدرداء "من فر بدينه من أرض إلى أرض مخافة الفتنة على نفسه ودينه كتب عند الله صديقا فإذا مات قبضه الله ـ عز وجل ـ شهيدا" فيه مجاشع يضع.
4) Fathonah
Artinya pintar, cerdas, cermat, cepat mengambil keputusan, tepat menentukan tindakan, mampu membaca keadaan, dan memahami segala permasalahan.
5) Tabligh
Artinya menyampaikan, Pemimpin sebagai informan tentang segala sesuatu yang penting diketahui oleh umat. Khususnya mengenai pesan-pesan agama.
6) Tegas dan Teguh Pendirian
Dalam urusan tauhid dan al-Haq dari Allah seorang pemimpin tidak boleh lemah dan ragu. Rasulullah selalu tegas dalam membela agama Islam, tidak tergoda dengan rayuan dan sogokan.
Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali[10].
7) Lemah Lembut
Rasululloh Saw terkenal dengan sifatnya yang peramah, bukan pemarah, halus tutur katanya, tidak menyinggung perasaan orang lain. Allah mengabadikannya dalam Q.S Al-Fath:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
8) Pemaaf
Manusia tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, apalagi prajurit, staf atau rakyat biasa, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Rasulullah sangat pemaaf walaupun kesalahan sebagian sahabat-sahabatnya sangat fatal yang mengakibatkan kaum Muslimin kalah perang di Uhud, dengan besar hati beliau memaafkan sahabatnya dan memohon ampunan bagi mereka.
9) Senang bermusyawarah
Musyawarah bukan untuk memaksakan kehendak, menolak usulan, otoriter dan merasa benar sendiri.
10) Bertawakal kepada Allah
Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Tawakal artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah bersungguh-sungguh menyusun rencana yang dianggap matang.
11) Adil
12) Sabar
13) Bertanggung jawab
BAB III
KESIMPULAN
Kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.
Kepemimpinan islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-qur’an dan hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin, terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol yaitu : teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis.
Hukum memilih Pemimpin adalah Wajib Aen, dengan syarat-syarat pemimpin : bertaqwa, amanah, shiddiq, fathonah, tabligh.
Hukum Golput karena sebab tidak ada pemimpin yang memenuhi syarat pemimpin yang Islami hukumnya Wajib. Tetapi bila Golput padahal ada pemimpin yang ideal untuk dipilih berdasarkan syarat-syarat Pemimpin Islam hukumnya Haram.
Syarat-syarat Pemimpin yang Islami tersebut adalah : Bertaqwa kepada Allah Swt, Amanah, Shiddiq, Fathonah, Tabligh, Tegas dan Teguh Pendirian, Lemah Lembut, Pemaaf, Suka Bermusyawarah, Bertawakal kepada Allah Swt, Adil, Sabar, dan Bertanggungjawab.
DAFTAR PUSTAKA
Aunur Rohim Fakih, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta.
Bachrub Rangkuti, Kepemimpinan Muhammad Rasulullah, t.p.
Hadari Nawawi, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mochammad Teguh, dkk., 2001, Latihan Kepemimpinan Islam Tingkat Dasar [LKID], UII Press, Yogyakarta.
Imam Mujiono, 2002, Kepemimpinan dan Keorganisasian, UII Press, Yogyakarta.
Majalah Risalah, Konsep Dasar al-Khilafah NO.2 TH 44 MEI 2006.
[1] http://taufiqsuryo.wordpress.com/2009/02/21/prophetic-leader-sebuah-konsep-kepemimpinan-dalam-islam/
[2] Ibid.
[3] http://pojokasuransi.com/blog/manajemen-islami/dasar-dasar-kepemimpinan-dalam-islam/
[4] Aunur Rahim, dk., 2001:3-4
[5] Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:18
[6] Aunur Rahim, dk., 2001:4-5
[7] Ibid.
[8] RISALAH NO.2 TH 44 MEI 2006 Hal 15
[9] Risalah No.1 Th. 47 April 2009 halaman : 17
[10] At-Tahrim : 9
A. Latar Belakang
Bila kita cermati kehidupan Rasulullah kita akan menemukan banyak sekali keistimewaan dan pelajaran yang seakan-akan tidak pernah habis. Dalam hal kepemimpinan lihatlah bagaimana Rasullah membangun kepercayaan dan kehormatan dari kaumnya. Sebelum menjadi nabi, Rasullullah sudah mempunyai gelar al-amin yang artinya dapat dipercaya. Sebuah gelar yang tidak bisa dikatakan biasa karena menununjukkan kredibilitas beliau di mata kaumnya. Kemudian lihatlah bagaimana daya kepemimpinan beliau ketika menyelesaikan kasus pengembalian Hajar Aswad ke dalam ka’bah setelah direnovasi karena banjir. Semua orang bergembira karena beliaulah yang terpilih menjadi hakim pada perkara tersebut. Dan cara penyelesaiannya pun sungguh cerdas dan menyenangkan semua pihak.
Setelah menjadi pemimpin tertinggi Negara Islam madinah pun Rasullullah tetap menunjukkan daya kepemimpinan yang luar biasa. Berkali-kali beliau memimpin sendiri pasukan perang untuk menghadapi orang-orang kafir, menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tubuh umat yang semakin kompleks, menjadi pemimpin bagi beragam suku arab dan agama yang ada di madinah kala itu. Namun, di tengah-tengah kesibukannya dalam mengurus Negara, beliau masih sempat mencandai istri, bahkan menjahit sendiri terompahnya yang putus dan gamisnya yang robek. Dan semua kualitas tersebut menjadikan Rasullullah sebagai pemimpin terhebat sepanjang sejarah.
Dalam waktu singkat, 23 tahun kurang lebih, risalahnya telah menembus batas-batas akal manusia. Barisan-barisan inti yang kokoh siap melanjutkan risalah yang dibawanya. Pengikut ajarannya pun semakin bertambah banyak. Dalam waktu sekejap sejarah mencatat bahwa ajaran islam yang dibawanya telah meluas dari jazirah kecil tak ternama menjadi sepertiga dunia yang makmur dan digdaya. Bagaimana Rasulullah menjadi dapat menjadi pemimpin yang demikian hebatnya? Jawabannya hanya satu, karena Rasulullah memimpin dengan kekuatan spiritualitasnya, bukan karena posisi, jabatan, atau sesuatu yang dibeli dengan uang dan kekuasaan. Yang ditaklukan oleh Rasulullah bukan posisi atau jabatan tetapi hati para pengikutnya. Dalam teori kepemimpinan modern, model pemimpin seperti ini dimanakan level 5th leader[1].
Level 5th leader adalah level pemimpin yang telah melewati level-level sebelumnya. Pada tahap ini seorang menjadi pemimpin karena kekuatan personalnya dan visi serta cita-citanya. Bandingkan dengan orang yang memimpin dengan mengandalkan posisi dan jabatannya atau ia menjadi pemimpin karena “membeli” kepemimpinan itu dengan harga yang mahal. Mungkin hal inilah yang menyebabkan para sahabat begitu menghormati beliau. Bahkan musuh beliau gentar dengan berkata bahwa tidak ada pemimpin yang diperlakukan oleh orang yang dipimpinnya sebagaimana Rasullullah diperlakukan oleh para sahabatnya.
Hal ini terlihat pada sirah ketika Rasulullah akan berangkat menunaikan ibadah haji ke mekkah setelah perang khandaq. Jawaban Abu Bakar yang kasar ketika Urwah bin Mas’ud bermaksud membuat ragu Rasulullah terkait kesetiaan umat islam. Bagaimana mungkin Abu bakar yang sedemikian lembut mampu berkata “Isaplah batu berhalamu, si Latta, apakah kau kira kami akan berlari meninggalkan ia?”, atau ketika al-Mughirah bin Syubhah berkata dengan lantang sambil menghunuskan pedang “jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah sebelum kutebas tangan itu”. Kepemimpinan model apakah ini, sehinga mampu menghasilkan pengikut yang sedemikian rupa? Sekali lagi, Rasulullah menaklukan hati para sahabatnya bukan membeli apalagi meminta jabatan kepemimpinan tersebut. Inilah contoh konkret dari penerapan Prophetic leader dalam sejarah umat manusia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah kita menjadi pemimpin dengan kelas Prophetic leader? Hal pertama yang harus kita sadari bahwa kepemimpinan lahir karena dibentuk. Ia tidak dilahirkan dalam satu malam atau dari rahim istri pemimpin besar. Ia lahir dari perjuangan dan penempaan yang tiada henti. Seperti Rasulullah yang ditempa langsung oleh Allah. Kemudian, sadarilah menjadi pemimpin adalah sebuah pilihan. Transformation in our world never be initiated by many people, it’s always originated by few selected people. Orang-orang pilihanlah yang akhirnya mampu membuat perubahan besar. Dan pilihan selalu mengandung konsekuensi[2].
Menjadi pemimpin berarti bersiap untuk menjadi pembelajar. Mungkin kita harus belajar memimpin dengan menggunakan posisi atau jabatan tertentu. Tidak masalah, teruslah belajar dan jadilah pemimpin yang dapat merangkul semua elemen kerja. Buktikanlah hasil dari kepemimpinan kita dan pupuk selalu kredibiltas pribadi hingga akhirnya orang mengikuti kita karena raihan atau prestasi bagus yang telah kita capai. Kemudian, teruslah belajar, masukkanlah nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinan kita, dan akhirnya buatlah orang lain menjadikanmu pemimpin mereka karena semua kualitas pribadi kita dan daya pikat spiritulitas kita pada mereka. Itulah Prophetic Leader yang bukan hanya memenangkan posisi sebagai pemimpin, tetapi juga memenangkan hati para pengikutnya.
Berdasarkan uraian di atas maka disadari atau pun tidak kepemimpinan adalah suatu fitrah, dan juga keharusan yang mesti kita laksanakan sepenuhnya. Dengan ini maka perlu kiranya kita mengetahui apa itu Kepemimpinan, terutama Kepemimpin berdasarkan Dienul Islam. Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi pengantar untuk mengetahui kepemimpinan ini dengan lebih lanjut. Amiin.
B. Perumusan Masalah
Dari permasalahan di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah :
1. Apa pengertian Kepemimpinan dalam ajaran Islam?
2. Bagaimana konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah?
3. Bagaimana hukum memilih pemimpin?
4. Apa saja sifat-sifat pemimpin yang ideal?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini, diharapkan dapat menjadi pengantar untuk:
Mengetahui pengertian Kepemimpinan dalam ajaran Islam
Mengetahui konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah
Memahami hukum memilih pemimpin
Mengetahui sifat-sifat pemimpin yang ideal
BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang sehingga ia memperoleh rasa hormat (respect), pengakuan (recognition), kepercayaan (trust), ketaatan (obedience), dan kesetiaan (loyalty) untuk memimpin kelompoknya dalam kehidupan bersama menuju cita-cita[3].
Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu seperti: nonton film, berman sepek bola, dan lain-lain, orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
1] Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
2] Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
3] Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.
4] Pendapat lain, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang.
Dari keempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi lain, para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.
Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama, yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.
B. Arti Kepemimpinan Islam
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagian setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di muka bumi :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [Q.S.al-Baqarah:30],
Kholifah bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah :
“Setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah] :
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" [Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya.
Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata.
Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain[4].
Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
C. Teori Kelahiran Pemimpin
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol yaitu [a] teori genetis, [b] teori sosial, dan [c] teori ekologis[5].
a. Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk” [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi” termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor “dasar”. Dalam realitas, teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
b. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan [Leaders are made and not born]. Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.
c. Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.
Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lungkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.
Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: [1] Bakat kepemimpinan yang dimilikinya. [2] Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan [3] Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.
Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : [1] Membentuk diri sendiri [self constituded leader, self mademan, born leader] [2] Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. [3] Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya [Imam Mujiono, 2002: 18].
D. Konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah;
Hukum Memilih Pemimpin
Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil”.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [QS.al-Baqarah:30].
Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi [khalifah fil ardli]. Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat. Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agam dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat. Dikenal pula istilah “ulil amir” [jamaknya umara] yang disebutkan dalam surat al-Nisa [59] yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat [55].
Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut, memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah.
Istilah khalifah dan “amir” dalam kontek bahasa Indonesia disebut pemimpin yang selalu berkonotasi pemimpin formal. Apabila, kita merujuk dan mencermati firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi. “Meraka bertanya [keheranan], Mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertimpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Mahatahu segala hal yang tidak kemau ketahui”.
Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Islam secara mutlak bersumber dari Allah swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardli. Maka dalam kaitan ini, dimensi kontrol tidak terbatas pada interaksi antara yang memimpin [umara] dengan yang dipimpin [umat], tetapi baik pemimpin maupun rakyat [umat] yang dipimpin harus sama-sama mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya sebagai seorang khalifah Allah , secara komprehensi[6]f.
Dalam sejarah kehidupan manusia sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya. Dalam Hadis Nabi, “setiap kamu adalah pemimpin” dan terlihat dalam pengalaman sehari-hari manusia telah melakukan unsur-unsur kepemimpinan seperti “mempengaruhi, mengajak, memotivasi dan mengkoordinasi” sesama mereka. Pengalaman itu perlu dianalisis untuk mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mewujudkan kepemimpinan yang efektif. “Untuk memahami kepemimpinan secara empiris, perlu dipahami terlebih dahulu tinjauan segi terminolgi-nya. Sacara etomologi [asal kata] menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” dengan mendapat awalan “me” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan artinya yaitu mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dan dalam bentuk kegiatan, maka si pelaku disebut “pemimpin”. Maka dengan kata lain, pemimpin adalah orang yang memimpin, mengetuai atau mengepalai. Kemudian berkembang pula istilah “kepemimpinan” [dengan tambahan awalan ke] yang menunjukkan pada aspek kepemimpinan[7]”.
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam membahas dengan nara sumber Prof. Dr. Maman Abdurrahman, MA tentang al-Khilafah al-Islamiyyah, mendefinisikan secara bahasa diambil dari kha-la-fa yang memiliki 3 makna, yaitu, pertama, an yaji’a syai’un ba’da syai’in yaqumu maqamahu, adanya sesuatu sesudah sesuatu yang bertugas sesuai dengan yang diganti. Kedua, khilaful quddam, kebalikan depan/terdahulu, yakni belakangan/akhir. Ketiga, taghayur, artinya berubah[8].
Substansi khilafah dan hukum menegakkannya didasarkan pada perintah Allah Swt untuk menegakkan syari’at Islam dalam arti yang seluas luasnya memberikan konsekuensi tersendiri pada penegakkan khilafah ini. Karena sebagaimana diketahui, Syari’at Islam tidak hanya mengatur perso’alan individu semata tapi juga perso’alan keluarga, masyarakat, dan pemerintah/ kenegaraan. Sangat banyak sekali hukum-hukum yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali sesudah adanya pemerintah, semisal hudud (hukum pidana), qital (perang), dan lain sebaginya. Kemestian menegakkan hukum-hukum tersebut pada akhirnya mau tidak mau juga menuntut penegakkan adanya pemerintahan.
Maka dari itu, dapat dirumuskan bahwa substansi dari khilafah adalah penegakkan syari’at islam. Oleh karena menegakkan syari’at Islam itu wajib, maka otomatis menegakkan khilafah atau al-imamah al’uzma pun wajib. Tapi tetap, fokus sasarannya pada Syari’at Islam.
Hal ini senada dengan qaidah ushul:
الامر بالشيئ أمر بوسائله
Perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah mengerjakan perantara-perantaranya.
Ini berarti penyelamatan agama dan umatnya ini harus lewat sebuah jama’ah muslimin dengan ketaatan sepenuhnya kepada imamnya. Dengan kata lain, kepada sebuah pemerintahan kaum muslimin.
Sidang Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam telah menetapkan beberapa putusan terkait masalah di atas:
1. Substansi dari khilafah adalah penegakkan syari’at Islam.
2. Khalifah atau al-imam al-azham adalah pemegang kekuasaan dalam hirasatud din (melindungi agama) wa siyasatu ddunya (mengatur dunia).
3. cara pemilihan khilafah atau al-imam al-azham adalah melalui syuro.
4. sumber hukum dalam system khilafah atau al-imam al-uzhma adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
5. Hukum menegakkan khilafah atau al-imamah al-uzhma adalah wajib.
Hukum Golput
Setahun silam ketika menyongsong Pemilu 2009 banyak pertanyaan tentang bagaimana seharusnya menyikapinya. Karena pada faktanya, kinerja para pemimpin yang akan dipilih masih jauh dari harapan, Partai-partai Islam pun semakin tergerus dengan nilai-nilai sekuler sehingga semakin tidak terlihat keislamannya. Apakah dengan kenyataan seperti ini dibenarkan untuk tidak memilih? Alias golput.
Menjawab pertanyaan di atas, para ulama dari beberapa ormas Islam Indonesia menyampaikan fatwa dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padangpanjang, 26 Januari 2009 M silam. Ketika itu para ulama mengeluarkan seruan:
Pertama, Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat Ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Kedua, Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan Imaroh dalam kehidupan bersama.
Ketiga, imamah dan imaroh dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam Hukumnya adalah Wajib.
Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan dalam butir4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram[9].
Bagi para ulama gejala Golput (bersikap tidak memilih) di tengah-tengah umat Islam dikhawatirkan dapat membawa dampak yang negative, yakni tidak tertegaknya imamah-imarah yang merupakan kewajiban umat untuk mewujudkannya. Apa yang harus dilakukan umat, menurut para ulama adalah memilih pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah). Jika pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria seperti itu ada, tapi kemudian tidak memilih, maka tentu itu sebuah kesalahan. Atau, jika pemimpin-pemimpin yang seperti itu ada, tapi malah memilih pemimpin yang tidak sesuai dengan criteria di atas, sama juga itu sebuah kesalahan, alias Haram.
E. Sifat-sifat Pemimpin yang Ideal
Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad Rasululloh Saw adalah sosok manusia yang paling ideal, sempurna dalam segala hal. Beliau bukan hanya seorang nabi dan rasul pilihan, juga sebagai kepala rumah tangga yang harmonis bagi keluarga-keluarganya, sahabat yang baik bagi sesamanya, guru yang berhasil bagi murid-muridnya, teladan bagi ummatnya, panglima yang berwibawa bagi prajuritnya dan pemimpin yang besar bagi kaumnya.
Segala akhlak mulia ada padanya, sehingga Allah sebagai Pencipta pun memujinya,
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Keberhasilan beliau sebagai Pemimpin, dilandasi sifat-sifat / kriteria-kriteria pemimpin yang ideal:
1) Bertaqwa kepada Allah Swt
Sebagai syarat muthlak sebagai pemimpin. yang telah menjadi karakter kepribadiannya.
2) Amanah
Artinya jujur, tidak pernah berdusta, menepati janji, berani mengatakan yang haq, bertindak adil dan profesional. Sifat ini harus menetap pada seseorang jauh sebelum dia menjadi pemimpin.
Sebagaimana diungkapkan dalam hadits:
وعن أبي أمامة قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم : " لا إيمان لمن لا أمانة له ، والذي نفسي بيده لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا " . رواه الطبراني
3) Shiddiq
Membenarkan dan meyakini apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya sekalipun tidak dapat difahami oleh akal. Tokoh pemimpin berkarakter ini, adalah Abu Bakar Ashiddiq.
Seorang Shidiq sanggup berkata jujur, berani menyampaikan al-haq dengan segala resikonya, walaupun ia harus terusir dari negerinya. Sabda Rasulullah Saw,
عن أبي الدرداء "من فر بدينه من أرض إلى أرض مخافة الفتنة على نفسه ودينه كتب عند الله صديقا فإذا مات قبضه الله ـ عز وجل ـ شهيدا" فيه مجاشع يضع.
4) Fathonah
Artinya pintar, cerdas, cermat, cepat mengambil keputusan, tepat menentukan tindakan, mampu membaca keadaan, dan memahami segala permasalahan.
5) Tabligh
Artinya menyampaikan, Pemimpin sebagai informan tentang segala sesuatu yang penting diketahui oleh umat. Khususnya mengenai pesan-pesan agama.
6) Tegas dan Teguh Pendirian
Dalam urusan tauhid dan al-Haq dari Allah seorang pemimpin tidak boleh lemah dan ragu. Rasulullah selalu tegas dalam membela agama Islam, tidak tergoda dengan rayuan dan sogokan.
Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali[10].
7) Lemah Lembut
Rasululloh Saw terkenal dengan sifatnya yang peramah, bukan pemarah, halus tutur katanya, tidak menyinggung perasaan orang lain. Allah mengabadikannya dalam Q.S Al-Fath:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
8) Pemaaf
Manusia tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, apalagi prajurit, staf atau rakyat biasa, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Rasulullah sangat pemaaf walaupun kesalahan sebagian sahabat-sahabatnya sangat fatal yang mengakibatkan kaum Muslimin kalah perang di Uhud, dengan besar hati beliau memaafkan sahabatnya dan memohon ampunan bagi mereka.
9) Senang bermusyawarah
Musyawarah bukan untuk memaksakan kehendak, menolak usulan, otoriter dan merasa benar sendiri.
10) Bertawakal kepada Allah
Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Tawakal artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah bersungguh-sungguh menyusun rencana yang dianggap matang.
11) Adil
12) Sabar
13) Bertanggung jawab
BAB III
KESIMPULAN
Kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.
Kepemimpinan islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-qur’an dan hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin, terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol yaitu : teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis.
Hukum memilih Pemimpin adalah Wajib Aen, dengan syarat-syarat pemimpin : bertaqwa, amanah, shiddiq, fathonah, tabligh.
Hukum Golput karena sebab tidak ada pemimpin yang memenuhi syarat pemimpin yang Islami hukumnya Wajib. Tetapi bila Golput padahal ada pemimpin yang ideal untuk dipilih berdasarkan syarat-syarat Pemimpin Islam hukumnya Haram.
Syarat-syarat Pemimpin yang Islami tersebut adalah : Bertaqwa kepada Allah Swt, Amanah, Shiddiq, Fathonah, Tabligh, Tegas dan Teguh Pendirian, Lemah Lembut, Pemaaf, Suka Bermusyawarah, Bertawakal kepada Allah Swt, Adil, Sabar, dan Bertanggungjawab.
DAFTAR PUSTAKA
Aunur Rohim Fakih, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta.
Bachrub Rangkuti, Kepemimpinan Muhammad Rasulullah, t.p.
Hadari Nawawi, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mochammad Teguh, dkk., 2001, Latihan Kepemimpinan Islam Tingkat Dasar [LKID], UII Press, Yogyakarta.
Imam Mujiono, 2002, Kepemimpinan dan Keorganisasian, UII Press, Yogyakarta.
Majalah Risalah, Konsep Dasar al-Khilafah NO.2 TH 44 MEI 2006.
[1] http://taufiqsuryo.wordpress.com/2009/02/21/prophetic-leader-sebuah-konsep-kepemimpinan-dalam-islam/
[2] Ibid.
[3] http://pojokasuransi.com/blog/manajemen-islami/dasar-dasar-kepemimpinan-dalam-islam/
[4] Aunur Rahim, dk., 2001:3-4
[5] Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:18
[6] Aunur Rahim, dk., 2001:4-5
[7] Ibid.
[8] RISALAH NO.2 TH 44 MEI 2006 Hal 15
[9] Risalah No.1 Th. 47 April 2009 halaman : 17
[10] At-Tahrim : 9