A. Pengertian Pembiasaan PAI
Untuk mengetahui pengertian pembiasaan PAI dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional, pengertian secara konsepsional mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Usaha sadar, terencana dan sistemik dalam pendidikan agama Islam untuk menyiapkan peserta didik supaya menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur secara utuh dalam segenap perasaannya dari sekarang hingga masa yang akan datang.
- Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik supaya mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi dan seimbang antara lahir batin, material spiritual, individu dan sosial, serta dunia dan akhirat.
- Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik supaya memiliki kepribadian seutuhnya (akhlakul karimah) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, penelitian dan keteladanan. (Balitbang Depdiknas, 2004: 8)
B. Landasan Pelaksanaan Pembiasaan PAI
1. Landasan Agama
Untuk menanamkan kebaikan (amal soleh) pada setiap peserta didik, bahkan pada setiap orang maka perlu adanya pendawaman (pembiasaan) melakukan amal saleh tersebut, sebagaimana hadits Nabi:
خير الامور ادوامها وان قل
Artinya: Sebaik-baiknya perkara adalah yang didawamkan (dibiasakan) walaupun sedikit. (HR. Hakim)
Hadits ini menerangkan bahwa amal itu tidak dipandang dari banyak dan sedikitnya. Segala sesuatu akan menjadi sangat baik apabila pelaksanaannya dibiasakan meskipun sedikit, apalagi banyak. Jadi cukup jelas bahwa Islam menyuruh beramal itu bukan pada kuantitasnya, tapi ditekankan pada kualitas amal itu meskipun sedikit tapi dibiasakan (dawam).
Hampir seluruh materi pendidikan agama Islam perlu didawamkan (dibiasakan), seperti: (Ramayulis, 2005: 24),
a. Tauhid: untuk mempertebal kualitas iman dan ketenteraman, perlu adanya dzikir secara dawam terhadap Allah.
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya: Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat (dzikir) kepada Allah. Ingatlah! Bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram. (QS. Ar Ra’du: 28)
b. Fiqih: untuk lebih terasa nikmat dan tenangnya jiwa, maka perlu terbiasa (dawam) melakukan ibadah terhadap Allah. Contohnya: shalat fardu harus terbiasa dilaksanakan pada awal waktu dengan berjamaah. Apabila seseorang sudah biasa shalat pada awal waktunya, tentu tidak akan tenang jiwanya tatkala suatu saat dia belum shalat dikarenakan tanggung oleh tugas yang dihadapinya atau alasan kendaraan dalam perjalanan.
c. Al-Qur'an: untuk lebih memperlancar bacaan dan meningkatkan pemahaman terhadap Al-Qur'an, maka perlu dibiasakan (dawam) membaca dan mempelajari Al-Qur'an. Dengan sering membaca lidah kita akan lebih mudah melafalkan huruf dan lafadz Al-Qur'an dan akan menjadi lebih faham terhadap ketentuan serta kedudukan kalimah Al-Qur'an tersebut. Lebih jauhnya dia akan meyakini terhadap kebenaran, keagungan dan kesucian Al-Qur'an.
مكملن بغير ما تكلف بنطق بالطف بلا تعاصف
Menyempurnakan terhadap Qur'an tidak sulit, dengan dawam membaca dan tidak berlebihan akan lebih baik. (Syekh Al-Zajari: 18)
d. Akhlak: esensi akhlak adalah perbuatan, dengan dibiasakan (dawam) dalam perilaku baik, dia akan lebih mudah melakukan kebaikan tersebut, dan akhirnya akan berakhlakul karimah. Contohnya anak didik dibiasakan di sekolah mengucap salam dan bermusofahah terhadap guru, maka dengan sendirinya mereka akan mudah dan tidak segan, jika bertemu guru di manapun akan tetap mengucapkan salam dan bermusafahah. (Humaidi, T, 1990: 9)
2. Landasan yuridis formalnya yaitu UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal 1, di sana disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk tercapainya semua itu salah satu jalannya adalah melalui pembiasaan PAI di sekolah dan cara ini bahkan dianggap paling efektif dan efisien, karena anak didik langsung melakukan perbuatan secara dawam (rutinitas).
3. Landasan filosofis, yaitu bahwa pembiasaan yang dilakukan oleh seseorang itu akan sangat berpengaruh pada perkembangan dirinya, pembiasaan pada hal-hal yang baik maupun pembiasaan pada hal-hal yang jelek. Contoh pembiasaan pada hal-hal yang baik seperti membiasakan suka bangun malam dini hari, maka ia akan mudah bangun malam untuk bertahajud, membiasakan shalat pada awal waktu dengan berjamaah, maka di manapun ia berada mesti shalat pada awal waktunya, membiasakan suka saum sunat pada hari senin atau hari kamis, maka dalam kondisi bagaimanapun ia tetap akan bersaum. Begitupun dalam hal-hal yang jelek, kalau sudah terbiasa mesti sulit untuk meninggalkan kejelekan tersebut, sebagai contoh seseorang terbiasa merokok apabila sudah kecanduan maka sulit untuk berhenti tidak merokok.
4. Landasan psikologis, menurut pandangan psikolog (Sheal, Peter, 1989), bahwa anak didik sangat besar dipengaruhi oleh apa yang sering dilakukannya. Oleh karena itu anak didik belajar hanya:
10% dari yang mereka baca
20% dari yang mereka dengar
30% dari yang mereka lihat
50% dari yang mereka lihat dan dengar
70% dari yang mereka katakan
90% dari yang mereka lakukan
Jadi jelaslah bahwa pembiasaan PAI itu sangat mempengaruhi terhadap optimalisasi perkembangan anak didik (Depag, 2003: 7).
C. Tujuan Pelaksanaan Pembiasaan PAI
Tujuan pelaksanaan pembiasaan PAI adalah sebagai berikut ini:
- Mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
- Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai penerus bangsa.
- Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang baik secara individual maupun sosial.
- Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. (Depdiknas, 2001: 7)
D. Fungsi Pelaksanaan Pembiasaan PAI
Fungsi pelaksanaan pembiasaan PAI bagi peserta didik adalah sebagai berikut ini:
- Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
- Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.
- Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan peserta didik dalam perilaku sehari-hari.
- Pencegahan, yaitu untuk mencegah perilaku negatif yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
- Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit hati seperti sombong, egois, iri, dengki, dan riya agar peserta didik tumbuh dan berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
- Penyaring (filter), yaitu untuk menyaring budaya-budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti luhur. (Depdiknas, 2001: 7)
E. Materi Pembiasaan PAI
Dalam pelaksanaan pembiasaan PAI, materinya terkonsentrasi pada materi pokok PAI itu sendiri. Adapun materi pokok PAI yang terdapat dalam buku Metodologi PAI karya Ramayulis (2005), adalah sebagai berikut:
- Aqidah
- Syari'ah
- Akhlak
- Al-Qur'an, dan
- Tarikh
F. Pendekatan Pelaksanaan Pembiasaan PAI
Dalam rangka meningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental, moral, spiritual, personal, dan sosial maka pelaksanaan pembiasaan PAI dapat digunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang terbaik dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan hasil yang optimal. Pendekatan yang dimaksud antara lain seperti berikut ini:.
1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang dapat digunakan pada pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi dan bermain peran.
2. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach)
Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi masalah moral sehingga peserta didik dapat membuat keputusan tentang pendapat moralnya. Mereka akan menggambarkan tingkat yang lebih tinggi dalam pemikiran moral, yaitu: takut hukuman, melayani kehendak sendiri, menuruti peranan yang diharapkan, menuruti dan menaati otoritas, berbuat untuk kebaikan orang banyak, bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang universal. Cara yang dapat digunakan dalam penerapan pembiasaan PAI dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi kelompok dengan topik dilemma moral baik yang faktual maupun yang abstrak (hipotetikal).
3. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, peserta didik dalam menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat dan penelitian.
4. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarifications approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, pendekatan ini juga membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang dapat dimanfaatkan dalam pendekatan ini antara lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok.
5. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu, pendekatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, selain cara-cara pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai adalah metode proyek/kegiatan di sekolah, hubungan antarpribadi, praktek hidup bermasyarakat dan berorganisasi. (Depag. 2003: 23)
G. Pengintegrasian Pelaksanaan Pembiasaan PAI
Penerapan pembiasaan PAI dapat dilakukan dengan berbagai strategi pengintegrasian. Strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Keteladanan/contoh
Kegiatan pemberian contoh/teladan yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan model bagi peserta didik. Dalam hal ini guru berperan langsung sebagai contoh bagi peserta didik. Segala sikap dan tingkah laku guru, baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik misalnya: berpakaian dengan sopan dan rapi, bertutur kata dengan baik, tidak makan sambil berjalan, tidak membuang sampah di sembarang tempat, mengucapkan salam bila bertemu orang, tidak merokok di lingkungan sekolah.
2. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui sikap/tingkah laku peserta didik yang kurang baik, seperti meminta sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding. Apabila guru mengetahui sikap/perilaku peserta didik yang demikian, hendaknya secara spontan diberikan pengertian dan diberitahu bagaimana sikap/perilaku yang baik misalnya kalau meminta sesuatu dilakukan dengan sopan dan tidak berteriak. Kegiatan spontan tidak saja berkaitan dengan perilaku peserta didik yang negatif, tetapi pada sikap/perilaku yang positif juga perlu ditanggapi oleh guru. Hal ini dilakukan sebagai penguatan bahwa sikap/perilaku tersebut sudah baik dan perlu dipertahankan, sehingga dapat dijadikan teladan bagi teman-teman.
3. Teguran
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat membantu mengubah tingkah laku mereka.
4. Pengkondisian lingkungan
Suasana sekolah dikondisikan sedimikian rupa dengan penyediaan sarana fisik. Contoh penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai pembiasaan PAI yang mudah dibaca oleh peserta didik, aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga setiap peserta didik mudah membacanya.
5. Kegiatan rutin
Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, membersihkan ruang kelas/belajar. (Depag, 2003: 27)
H. Pengertian Sikap
Mengenai definisi sikap, banyak ahli yang mengemukakannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Fishbein (1975) mendefinisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variable laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa atau situasi (M. Ali, 2004: 141).
Sementara itu, Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Lebih lanjut dia mendefinisikan sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga atau persoalan tertentu. Dilihat dari sudut pandang yang agak berbeda, sikap merupakan kecenderungan untuk bereaksi terhadap orang, lembaga, atau peristiwa, baik secara positif maupun negatif. Sikap itu secara khas mencakup suatu kecenderungan untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika seorang remaja menyenangi suatu kelompok musik tertentu, F4 dari Taiwan atau Sheila On 7 misalnya, mereka cenderung akan bereaksi secara menguntungkan terhadap kelompok musik tersebut tanpa memandang karakteristik khas mereka selaku individu. Demikian juga, seandainya seseorang memiliki sikap menyenangi suatu partai tertentu, PKS, PKB atau PDIP misalnya, mereka cenderung akan bereaksi secara menguntungkan terhadap orang-orang dari ketiga partai tersebut tanpa memandang karakteristik khas mereka selaku individu. Sebaliknya, jika seseorang memiliki sikap tidak menyenangi terhadap kelompok etnis tertentu, mereka cenderung akan mereaksi secara kurang menguntungkan terhadap kelompok etnis tersebut tanpa memandang karakteristik khas dari orang-orang di dalamnya selaku individu.
Lebih lanjut, Chaplin (1981) menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotip sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya, bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa, pengusaha, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogramkan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
I. Teori Sikap
Dalam konteks sikap ini, menurut Stephen R. Covey (1989) ada tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
1. Determinisme genetic (genetic determinism),
2. Determinisme psikis (psychis determinism), dan
3. Determinisme lingkungan (environmental determinism). (M. Ali, 2004: 143)
Determinisme genetic (genetic determinism) berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat sebagaimana sikap dan tabiat nenek moyangnya. Sikap kakek-nenek diturunkan ke dalam DNA. Oleh karena itu, jika kakek-neneknya seorang yang mudah marah, seseorang akan memiliki sikap mudah marah juga. Proses seperti ini diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Determinasi psikis (psychic determinism) berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil dari perlakuan, pola asuh, atau pendidikan orangtua yang diberikan kepada anaknya. Pengasuhan yang diterima individu berupa pengalaman masa kanak-kanak pada dasarnya membentuk kecenderungan pribadi dan karakter individu, termasuk di dalamnya pembentukan sikap individu. Jika seseorang grogi, takut, atau bahkan stress jika harus berdiri dan berbicara di depan orang banyak, itu merupakan hasil dari cara orangtua mendidik, memperlakukan, atau mengasuhnya. Seseorang akan merasa sangat bersalah ketika berbuat kesalahan karena muncul ingatan bagaimana orangtuanya secara emosional menghukumnya ketika masih berada pada fase yang sangat rentan, lemah, lunak dan bergantung. Seseorang tersebut masih sangat ingat bagaimana hukuman emosional, penolakan dan pembandingan dengan orang lain.
Determinisme lingkungan (environmental determinism) berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat individu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangan memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap individu.
Sikap merupakan salah satu aspek psikologis individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrument untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penaksiran dan penilaian sikap.
J. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Hurlock (U. Munandar, 2004), seorang psikolog menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seseorang adalah sebagai berikut:
1. Penampilan diri
Perubahan yang meningkatkan penampilan diri seseorang akan diterima dengan senang hati, dan mengarah kepada sikap yang menyenangkan.
2. Perilaku
Kalau perubahan perilaku memalukan, seperti yang terjadi selama pubertas dan usia lanjut, hal itu akan berpengaruh pada sikap terhadap perubahan-perubahan yang kurang menyenangkan.
3. Stereotif Budaya
Dari media massa, orang mempelajari stereotip budaya yang dikaitkan dengan berbagai usia.
4. Nilai-nilai Budaya
Setiap kebudayaan mempunyai nilai-nilai tertentu yang dikaitkan dengan usia-usia yang berbeda.
5. Perubahan Peran
Sikap terhadap orang dari bermacam-macam usia sangat dipengaruhi oleh peran yang mereka mainkan.
6. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap individu dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam perkembangan.
Sebenarnya yang dapat mempengaruhi sikap itu banyak sekali, tapi secara garis besarnya dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kualitas iman
Kualitas iman seseorang merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi sikap, karena seseorang yang imannya kuat maka jiwanya akan tenang dan senang melakukan kebaikan, jika iman seseorang berkurang bahkan hilang, dia akan gelisah dan segan tidak mau berbuat kebaikan. Oleh karenanya diupayakan bagi setiap muslim untuk senantiasa mempertahankan bahkan harus terus mampu meningkatkan iman.
الايمان يزيد وينقص ويذهب
2. Ilmu pengetahuan
Untuk menjadi manusia yang bersikap baik, di samping ada iman perlu ditunjang dengan ilmu pengetahuan, sebab pengakuan iman harus dibuktikan dengan amal, akan mau beramal bagaimana apabila dia tidak memiliki ilmu pengetahuan? Dengan demikian jelaslah bahwa iman dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan Allah SWT berjanji akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan.
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Dan sabda Rasulullah SAW menyatakan, bahwa seseorang yang bertambah ilmu harus bertambah baik sikapnya. Apabila tidak maka ia akan semakin jauh dari Allah.
3. Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Untuk itu dalam mewujudkannya harus ada keterpaduan di antara tiga lingkungan yang dialaminya. Dia dibimbing supaya baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
K. Pengertian Keberagamaan
Keberagamaan berasal dari kata "beragama" yang secara bahasa berarti hidup tidak kacau yakni selalu berhaluan/beraturan. Sedangkan menurut Saifudin Anshari seorang ilmuwan muslim berpendapat bahwa yang disebut beragama adalah suatu sistem keyakinan dan tata ketentuan Ilahi yang mengatur segala perikehidupan dan penghidupan manusia dalam berbagai keadaan baik hubungan dengan Allah, sesama manusia dan bahkan dengan alam (makhluk lainnya). Kata tersebut kemudian ditambah konfiks "ke-an" menjadi keberagamaan yang artinya berlandaskan ajaran agama (Islam).
Beragama mempunyai arti menganut atau memeluk agama, beribadah, taat kepada agama, benar hidupnya menurut ajaran agama, karena dibekali.
Zakiyah Daradjat (1970: 58), menyebutkan bahwa yang dimaksud keberagamaan adalah kecenderungan hidup seseorang yang selamanya berada pada aturan dan ketentuan agama, terbiasa menjalankan ibadah dan takut melangkahi larangan-larangan agama serta dia dapat merasakan tenang dan nikmat hidupnya dalam keadaan beragama. Sedangkan Ahmad Tafsir berpendapat bahwa inti beragama adalah sikap, dalam agama Islam sikap beragama intinya adalah iman. Jadi yang dimaksud beragama intinya adalah beriman.
L. Sikap Keberagamaan adalah Dimensi Anak Didik
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama. Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan (Ramayulis, 2005: 71).
Dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak, yaitu Allah SWT. Sejak di dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya.
Muhammad Hasan Hamshi (1990: 64), menafsirkan fitrah pada ayat di atas dengan ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Pandangan tersebut diperkuat oleh Syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu 'Ala al-Muadudi menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi'i (human nature).
Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar beriman (aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fitrah (sifat dasar) manusia sejak misaq (perjanjian) dengan Allah, sehingga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda. (Zainuddin, 1990: 68)
Pandangan Islam terhadap fitrah inilah yang membedakan kerangka nilai dasar pendidikan Islam dengan yang lain. Dalam konteks mikro, pandangan Islam terhadap kemanusiaan ada tiga implikasi dasar, yaitu, pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan, di mana pendidikan diarahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. Kedua, tujuan (ultimate goal) pendidikan yaitu muttaqin yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai Abdullah dan khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan diadakan spesialisasi dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia. (Zainuddin, 1990: 78)
Manusia adalah hasil dari proses pendidikan yang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pendidikan akan mudah tercapai kalau ia mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat dasar dan kecenderungan manusia pada obyek-obyek tertentu. Menurut Abdurrahman Shaleh Abdulllah praktek kependidikan yang tidak dibangun di atas dasar konsep yang jelas tentang sifat dasar manusia pasti akan gagal.
Berkaitan dengan sifat dasar inilah pendidikan Islam dirumuskan untuk membentuk insan muttaqin yang memiliki keseimbangan dalam segala hal berdasarkan iman yang mantap untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
M. Perkembangan Sikap Keberagamaan Peserta Didik
Menurut penelitian Ernes Harmar sebagaimana dikutip oleh Mohammad Ali (2004: 143), perkembangan agama anak-anak melalui beberapa fase yaitu:
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3 tahun s.d. 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Tingkat perkembangan ini seakan-akan anak itu menghayati konsep ke-Tuhanan itu kurang masuk akal, sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konser fantastik yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar sehingga sampai keusia (masa usia) adolesense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dan orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas emosional, maka pada masa ini mereka telah melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikerjakan oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikut dan tertarik untuk mempelajarinya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistik ini terbagi atas tiga:
- Konsep ke-Tuhanan yang convensial dan kosmatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
- Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni dengan dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
- Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi ethos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.