Pada waktu itu Rosulullah Saw bersabda memberi jabatan seraya menepuk-nepukkan tangan ke atas pundak Abu Dzar dengan penuh kasih sayang,
“wahai Abu Dzar! Engkau termasuk orang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah. Dan sesungguhnya dengan jabatan itu akan menjadikan kebinaan dan penyesalan kelak pada hari kiamat, kecuali jika mengambilnya dengan cara yang benar, dan dapat menunaikannya kepada yang menjadi tanggungjawabnya (secara benar).”
Pengaduan Abu Dazar dan jawaban Rasullulah Saw dalam hadits ini, bila dicermati sesungguhnya merupakan nasihat yang sagat berharga bagi Abu Dzar pada waktu itu. Karena Rasullulah tau persis karekteristik Abu Dzar. Nasihat itu pula bermanfaat bagi kita sekarang ini. Secara tidak langsung, dalam hadits itu Rasullulah mengisyaratkan bahwa umumnya manusia pada saat itu berambisi menduduki jabatan atau kedudukan yang dianggap oleh mereka sebagai tujuan akhir hidup dan sebagai sebuah kebahagiaan tertinggi.
Mereka tidak menyadari akan ketidakmampuan dan kelemahan yang ada dalam dirinya. Padahal memimpin dan menjabat satu jabatan itu mengandung resiko yang harus dibayar mahal jika tidak pandai-pandai mengemban dan melaksanakannya. Agapan umum atau awam, dengan jabatan itu yang terbayang dan trlintas dalam hati mereka adalah keuntungan materi yang berlimpah ruah, penghasilan bertambah, uang yang banyak, tana’um dan taladzdzub yang akan dirasakan, popularitas dan menjadi idola banyak orang. Tidak terbayang bahwa itu adalah sebuah amanah dan bernilai ibadah. Mereka lupa terhadap usinya yang sudah senja, pola pikr yang tidak cemerlang lagi, panca indra yang semakin lemah, dan tidak menyadari bahwa orang-orang disekitarnya pun tidak simpati lagi. Meeka hanya mengandalkan gelora nafsu dan keinginannya yang tidak puas-puasnya, menonjolkan jasa-jasanya agar mendapatkan dukungan, tergir dengan gebyar kehidupan duniawi yang menyilaukan mata, dan dibuai dengan perasaan muda belannya, padahal umur sudah udzur, dan jasanya pun sudah tua renta.
Oleh sebab itulah, Rasullulah Saw menasihati Abu Dzar, agar tahu diri dan menyadari kelemahannya, karena tugas peminpin atau jabatan itu memang tugas mulia, tetapi berat. Juga merupakan amanah yang harus ditunaikan, yang penuh dengan resiko. Terutama kelak di akhirat akan menemukan kehinaan dan penyesalan manakala ia tiadak dapat mempertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt.
Lain halnya jika berambisi menjadi pimpinnan atau pejabat itu dengan niat yang “shalihah,” tujuannya benar, ikhlas dan sanggup membersihkan dirinya dari motif-motif mencari kesenangan duniawi. insyAllah akan mendapat pertolongan.
Demikian pula jika jabatan itu hanya sekedar wasilah untuk mencari ridha Allah bukan sebagai “ghayah” (tujuan poko) insyAllah enjadi ibadah. Namun juga harus ditopang dengan kesehatan fisik yang prima, mental dan keiman yang kuat, insyAllah tidak akan bertemu dengan kehinaan dan penyesalan kelak pada hari kiamat. Sesungguhnya, apapun yang dimiliki manusia, baik materi maupun non-materi, adalah amanah yang harus dijaga dan di tunaikan atau disampaikan kepada yang berhaknya. Bukan hanya jabatan saja. Artinya, siapapun wajib menunaikan ibadah, bukan hanya pejabat atau peminpin saja.
Adapun yang dinamakan amanah dalam pengertian istilah adalah, “sesuatu yang harus dijaga baik-baik, ntk ditunaikan kepada yang haknya.” Firman Allah dalam surat anNisa ayat 58, berbunyi, “sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk menyampaikan amant kepada yang berak menerimanya, dan (memerintahkanmu) apabila menetpakan hukum diantara manusia, supaya kamu meetapkannya dengan adil. Sesugguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya padamu. Sesungguhny Allah maha mendengar dan maha melihat.” Ahmad mustfafa almaraghi dalam kitab tafsirnya menerangkan macam-macam amanah yang harus ditunaikan, yaitu:
- Amanah seoarang hamba kepada tuhannya,Yaitu segala apa yang di amanahkan Allah kepada hamba untuk dijaganya dengan baik dan di tunaikan secara baik. Seperti melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjadi larangan-Nya. Demikian pula mentashurrufkan seluruh jiwa raganya untuk hal-hal yang bermanfaatdan sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah swt sebagai Rabb-nya. Oleh sebab itu ada keterangan dalam atsar bahwa segala perbuatan maksiat atau pembangkangan kepada Allah Swt adalah bentuk penghianatan kepada-Nya. Dalam arti merusak amanah.
- Amanah seorang hamba dengan sesama hamba, yaitu segala amanah yang harus ditunaikan kepada manusia. Seperti menyampaikan apa yang di percayakan kepadanya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Dengan tidak berani menggasabnya,dan menjaga kerahasiaannya,dan semacamnya,sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Termasuk kewajiban adil bagi seorang pemimpin terhadap rakyatnya, dan seorang ulam terhadap umatnya. Seperti menunjukan aqidah yang benar kepada mereka, ahklak yang baik dan perbuatan yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Serta mendidik mereka ddengan didikan yang baik dan mengarahkan kepada usaha atau kasab yang halal. Demikian pula kewajiban adil seorang suami kepada iteri-isterinya, dan menjaga kehormatan serta rahasia masing-masing dilingkuhgan rumah tangganya. Itu semua adalah amanah yang harus di tunaikan secara baik.
- Amanah seseorang terhadap dirinya sendiri, yaitu tidak memilih untuk dirinya kecuali yang dapat mendatangkan manfaat dan maslahat, baik untuk urusan agama dan urusan dunianya. Ia wajib bertinda adil terhadap dirinya sendiri dan menjaga amanah Allah yang diberikan kepadanya dirinya. Seperti anggota badan adalah amanah dari Allah Swt untuk menjadikan sarana beribadah kepada-Nya. Maka di perlukan adil, tidak hanya untuk menonton hiburan saja, tetapi juga di pakai untu tidur dan belajar. Telinga tidak diporsir untuk mendengarkan yang tidak bermanfaat tetapi digunakan untuk pula untuk mendengarkan nasihat. Karena semua itu adalah amanah. Tangan bukan digunakan untuk manganiyaya, tetap digunakan untuk hal-hal yang baik, seperti menolong orang, memberi sodakoh, dsb. Lidah tidak di gunakan untuk menggunjing orang , mengumpat dan berbohong, tetapi di gunakan untuk yang bermanfaat. Lidah adalah amanah, tidak boleh di hianati dalam penggunaannya. Demikian pula jika badan sakit, wajib dicari obatnya, karena itu adalah manah. Soal sembuh atau tidaknya, serahkan kepada Allah Swt. Demikian macam-macam amanah yang harus di tunaikan. Oleh sebab itu sebenarnya siapapun dan profesi apapun atau jabatan apapun sebenarnya ia sedang memegang amanah yang wajib ditunaikan. Orang kaya dengan hartanya, itu adalah amanah Allah. Tunaikan amanah itu kepada yang berhaknya. Yaitu zakat dan shadaqahnya dikeluar kan untuk fakir dan miskin. Atau infakkan dijalan Allah. Orang berilmu bergelar sarjana atau ulama, itu adalah amanah Allah. Tasharrufkan ilmu itu kepada mereka yang berhak yaitu orang awam yang membutuhkan. Jangan dibisniskan. Jangan diperjual belikan dan tidak baik menagih imbalan atas jasanya berupa ujrab di dunia saja. Jangan dijadikan kesempatan untuk mencari uang semata. Itu semua adalah amanaha Allah yang harus dijaga. Pemimpin dengan jabatanya adalah amanah, yaitu harus adil dalam memimpin, mendatangkan kesejahteraan untuk rakyanya, baik lhir maupun batin. Jika amanah itu disia-siakan, maka tungulah kehancurannya. Dalam hadits riwayat Bukhari dijelaskan, ada seseorang sahabat bertanya, bilakah terjadinya As Sa’ah ? Rasullulah menjawab : “Apabila suatu urusan disrahkan kepada yang bukan ahlinya (yang berhaq menerimannya)”