Rasullulah saw bersabda; “ikutilah sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin.” Nasyid merupakan nyayian sya’ir. Hal ini bisa dianggap mubah jika dilakukan diluar masjid. Tetapi apabila dilakukan didalam masjid, maka ini terlarang berdasarkan hadits: dari tsauban ra., ia berkata: telah bersabda Rasullulah Saw: “barang siapa yang kalian melihat seseoarang menasyidkan sebuah syair didalam masjid, maka ucapkanah oleh kalian semoga Allah memecahkan mulutnya.”
Hadits ini dikutif oleh imam safaraini, seseorang ahli hadits dan fiqih dari madzab as-Syaifi’iy. Apabila menyaikan sebuah sya’ir dimasjid sudah terlarang. Apalagi menari. Dan mengapa kita harus merasa renadah dari saat orang-orang kafir bisa menari, lalu kita mengikuti jejak mereka, bahkan kita melakukannya didalam masjid? Barang kali hadits di atas belum samapai kepada mereka. Demikian pula hadits dibawah ini, Rasullulah saw bersabda: “sekelompok wanita akan menjadi penghuni neraka dan tidak akan masuk surga yaitu mereka yang berpakaian tetapi telanjang dan menggoyang-goyangkan kepalanya.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam muslim dalam kitab shaihnya. Bisa dibaca dalam kitab majmu fatwa ibnu taimyyah jilid 11 dan juga hijabul mar’ah syaikh Muhammad Nasruddin al-Albani. Iamam ibnu Hajar as-Syafi’iy mengatakan bahwa tarian diharamkan baik bagi laki-laki maupun perempuan (fatwa syaikh Muhammad Rasyid Ridha juz 2 hal. 766). Imam malik menyebutkan prilaku fasiq. Kemudian menurut syaikh Ibnu Taimiyyah, bahwa laki-laki yang melakukan tarian adalah maknuts yakni banci (majmu’fatwa Ibnu Taimiyyah juz 11 hal. 577).
Jadi, dengan riwayat diatas maka tidak ada nilai ibadah bagi siapapun yang menyanyikan nasyid atau sya’ir baik sya’ir dalam bentuk shalawat seperti shalawat badar, shalawat munfarijah, atau pula sya’ir Abu Nawas ilabi lastu lil firdausi abla. . . semua itu tidak diajarkan oleh nabi saw dan juga tidak dilakukan oleh para sahabatnya.
Lalu apakah kita lebih mendapatkan petunjuk daripada mereka ? dan haruskah kita menyerupai kebiasaan orang-orang Nasrani yang menyayikan sya’ir puja-pujian yesus dan tuhannya digreja mereka? lalu mendatangkan alat musik ke dalam masjid sebagai mana mereka melakukannya di gereja mereka? maka kepada siapakah kita akan mencontoh dalam perkara ini. Apakah akan mengikuti jejak para sahabat Nabinya yang tidak menyayikan do’a, shalawat, dzikir, dan asmaul husna serta nasyid di dalam masjid? Ataukah kita lebih menyukai keinginan masyarakat yang lebih senang meniru sekelilingnya dan mudah terpengaruh karena sesuai dengan selera mereka tanpa mengembalikan persoalan ini kepada atsar-atsar para sahabat? Sementara nabi saw mengatakan bahwa generasi yang terbaik dari umat ini adalah generasi para sahabat?
Dzikir Do’a, Shalawat dan Asmaul Husna.
Dzikir, shalawat dan asmaul husna, semuanya merupakan do’a. Dan semua itu telah diajarkan oleh Nabi saw dengan sempurna. Maka bila melakukan sesutu selebih dari yang nabi ajarkan, adalah melampaui batas, hanya Nabilah yang lebih mengetahui jalan akhirat dan petunjuk dari agama ini. Oleh karena itu sudah semestinya kita menyerahkan segala perkara yang berkaitan dengan agama kepada nabi saw. Al-Qur’an menjelaskan “Ud’uu rabbaka. Tadlarru’an wa khufyatan”;berdo’alah kepada tuhanmu dengan tadlarru’ dan suara lirih. Tadlarru’ adalah memohon kepada alloh dengan perasaan sangat membtuh-kan bantuan-nya, mengiba-ngiba, dan khusu. Sedang khufyatan adalah dengan suara pelan, tidak boleh keras. Nabi saw bersabda: “dzikir yang paling baik adalah dengan suara khafi, pelan (tidak harus terdengar oleh orang lain), dan rizki yang paling baik adalah yang merasa cukup.”
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitabnya Al-musnad juz 1. Dengan petunjuk diatas maka dzikir atau do’a, baik shalawat atau asmaul husna hendaklah dibaca secara tadlaru’ dan khufiyah. Apakah ketika kita menyanyikan do’a seperti astagfirullah rabbalbaraya. . . atau shalwat dan asmaul husna, tersirat dalam hati kita rasa tadlarru’ diucapkan secara lirih dan khusyu’? sementara dalam hadits lain disebutkan, Allah tidak menerima do’a dengan hati yang tidak khusyu’, dan dalam riwayat addarakuthniy, Allah tidak menerima do’a dengan cara talhin, dinyanyikan.
Jangan dalam berdo’a dan berdzikir, bahkan dalam membaca Al-Qur’an pun dilarang membaca secara talhin atau dinyanyikan. Imam Ahmad memandangnya makruh, yakni di benci membaca Al-Qur’an secara talhin. Dan pada riwayat lain ketika ditanya bagaimana hukumnya, beliau menjawab bid’ah. Imam As-Safaraini setelah menguti dari perkataan Imam Ahmad di atas, beliau kemudian menukil sebuah hadits dari nabi saw, bahwasannya beliau bersabda:
“salah satu ciri as-sa’ab (kiamat atau kehancuran) adalah mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai mazamir yakni seruling-seruling, lalu menyerahkan Al-Qur’an itu bukan kepada ahlinya, dan juga tidak kepada orang yang lebih utama dari mereka, selain menjadikannya sebagai nyanyian untuk mereka.”
Dzikir berjama’ah
Dzikir bejama’ah pun pernah dilarang oleh Abdullah ibn Mas’ud. Adalah abu musa al-Asy’ariy datang melaporkan kepada abdullah ibn mas’ud bahwa disalah satu masjid di kufah ada sekelompok orang sedang berdzikir berjama’ah dan dipimpin oleh seorang imam mereka. mereka mengucapkan takbir seratus kali, tahmid seratus kali, tahlil seratus kali dengan penggunaan batu kecil sebagai alat penghitung dzikir.
Setelah dilaporkan demikian, maka abdulah ibnu mas’ud datang menemui mereka, menegur mereka, dan membubarkan dzikir tersebut. Lalu imam mereka berkata, “apakah salah kami brdzikir, bukankah berdzikir diperintahkan oleh Al-Qur’an?” abdulah ibnu mas’ud menjawab: “betapa banyak orang berniat baik tetapi salah dalam mengamalkannya, apakah kalian lebih mendapatkan petunjuk dibanding dengan para sahabat Nabi?”
Mereka membubarkan diri lalu bergabung lalu brgabung dengan kelompok khawarij menerangi para sahabat Nabi saw. Sebagai penutup, berikut adalah pendapat ibnu taimiyyah, bahwa bekumpul manusia di musim ini untuk isyaadzul ghina’i, menasyidka nyanyian (menyanyikan nasyid atau syair) dan memukul rebana didalam masjid al-Aqsha dan yang lainnya adalah merupakan aqbabil munkarat’, kemunkaran paling jelek.
Munkin hanya itu yang bisa saya sampaikan semoga bemanfaat bagi kalian yang membaca dan juga bisa menjadikan sebuah contoh bukan hanya untuk dibaca saja tapi cobalah kalian terapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang tadinya begitu sekarang harus begini. terimakasih