Moeljatno berpendapat istilah perbuatan lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa larangan tersebut”. Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya adalah:
- Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orangnya.
- Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula,
- Untuk menyatakan adanya hubungan erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak menunjuk pada dua konkrit yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan yang kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda, berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan dualistis dan pandangan monistis. Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan sering disebut pandangan dualistis, juga dianut oleh banyak ahli, misalnya Moeljatno, Pompe, Vos, R. Tresna.
Menurut Moeljatno yang menganut pandangan dualistis, unsur-unsur tindak pidana adalah:
- 1) Perbuatan (manusia)
- 2) Memenuhi rumusan dalam Undang-Undang (formil)
- 3) Bersifat melawan hukum (syarat materiil).7)
Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 9)
R. Tresna, walaupun menyatakan sangat sulit untuk merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau menarik suatu definisi yang menyatakan bahwa, “peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.10)
Pandangan monoistis adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai diri orangnya. Ada banyak ahli hukum yang berpandangan seperti ini dalam pendekatan terhadap tindak pidana, antara lain JE. Jonkers, Wirjono Prodjodikoro, HJ. van Schravendijk, Simons dan lain-lain.
JE. Jonkers, merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wedwerrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.11)
Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.12)
HJ. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan”.13)
Simons, merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum”.14)
Simons sebagai penganut pandangan monistis mengemukakan unsur-unsur stafbaar feit adalah sebagai berikut:
- 1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat)
- 2) Diancam dengan pidana
- 3) Melawan hukum
- 4) Dilakukan dengan kesalahan
- 5) Oleh orang yang bertanggungjawab.15)
Sementara itu, aliran monistis memandang sebaliknya (konkret), yaitu strafbaar feit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam strafbaar feit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang) tidak dipisah sebagaimana menurut paham dualistis.
Daftar Pustaka
6) Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, hal. 55.
7) Ibid, hal. 60
8) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 72
9) Ibid, 72
10) Ibid, hal. 72
11) Ibid, hal. 75
12) Ibid, hal. 75
13) Ibid, hal. 75
14) Ibid, hal. 75
15) Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal. 39.
Bagi para pembaca, terkait masalah linguistik anda dapat membaca artikel lain yang paling menarik tentang jenis-jenis membaca hanya di situs bahan kuliah ini.